Jumat, 24 November 2017

STATUS PENDOSA BESAR SEORANG MUKMIN

STATUS PENDOSA BESAR SEORANG MUKMIN
(Berdasarkan Pemahaman Ideologi Murji’ah)
Oleh: Priliansyah Ma’ruf Nur

Nama Murji’ah berasal dari kata irja atau arja’a yang berarti penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a juga memiliki arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik sama halnya dengan kaum Khawarij, tegasnya persoalan kholifah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah terbunuhnya Usman Ibn Affan. Oleh karena itu, murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang saling bermusuhan yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing yang dikafirkan oleh kaum Khawarij hingga statusnya diputuskan di pengadilan akhirat. (Abdul, 2001: 56)
Dalam permusuhan inilah muncul satu aliran baru yang bersikap netral yang tidak ikut dalam kafir-mengkafirkan yang terjadi pada golongan tersebut. Bagi merekan golongan yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa yang salah dan benar dan lebih baik menunda penyelesaian hingga hari perhitungan di depan Allah. Dengan demikian, kaum Murji’ah adalh kaum yang tidak ikut campur dalam pertentangan tersebut dan mengambil sikap menyerahkan penentuan kafir atau tidaknya orang-orang yang bertentangan tersebut kepada Allah. (Nasution, 2010: 24)
Salah satu ciri aliran ini adalah menunda menghukumi seseorang yang berbuat dosa besar. Tidak seperti aliran Mu’tazilah atau Khawarij yang dengan mudahnya menghukumi seorang yang berbuat zina atau membunuh sebagai orang kafir. Aliran murji’ah berpendapat seorang muslim yang berdosa besar tetap sebagai muslim, sebab dia telah membenarkan dengan hatinya. Berdasarkan itu pula mereka berpendapat bahwa perbuatan maksiat itu tidaklah merusak iman. Apabila seseorang meninggal dalam kepercayaan tauhid, maka dosa dan kejahatannya tidak memberikan mudarat terhadapnya.

Seorang yang berdosa besar itu tidak dikatakan kafir, ia dikatakan fasiq, tetapi bukan fasiq mutlak, ia hanya fasiq dalam perbuatannya. Dari pemahaman golongan murji’ah ini dapat diambil pelajaran bahwa setiap orang yang sudah membenarkan dalam hati bahwa dia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya masih bisa optimis mendapatkan ampunan. Meskipun seorang itu secara lahiriah sehari-hari berlaku kurang baik, bahkan berdosa besar, masih mungkin diampuni oleh Allah asalkan mau bertaubat sebelum kematian menjemput. Setiap dosa –baik dosa kecil, dosa besar, dosa syirik bahkan dosa kekufuran- bisa diampuni selama seseorang bertaubat sebelum datangnya kematian walaupun dosa itu sepenuh bumi. (Sahilun, 2010: 155) Meskipun terdapat pertentangan mengenai penundaan kekafiran seseorang ini, namun yang perlu kita cermati adalah bahwa pemahaman Murji’ah terhadap status mukmin yang melakukan dosa besar dapat membawa ummat Islam menjadi masyarakat yang ramah dan tidak mudah mengkafirkan orang lain. Iman itu adalah pengakuan di dalam hati, masalah perbuatan lahiriah seseorang tidak bisa serta-merta dihukumi seorang yang buruk atau bahkan syirik. Bisa jadi seorang yang beriman itu diamati orang lain saat sedang khilaf atau terlupa akan sesuatu, namun di lain waktu perbuatannya mencerminkan keshalehannya. (Syalabi, 2003: 297) Salah seorang penyair berkata:
وَ لاَ أَرَى أَنَّ ذَنْباً بَالِغُ أَحَدًا مِنَ النَّسِ شِرْكًا إِذَا مَا وَحَّدُو الصَّمَدَا
“Aku tidak berpendapat bahwa sesuatu dosa dapat mengantarkan kepada syirik, selama ia tetap bertauhid kepada Tuhan.”

Mengenai perbuatan dosa, Allah SWT berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Az Zumar: 53)
Ayat di atas bermaksud memberikan kesempatan bagi orang-orang yang “terlanjur” terjerumus dalam maksiat, baik dalam dosa kekafiran dan dosa lainnya untuk bertaubat dan kembali pada Allah. Ayat tersebut memberikan kabar gembira bahwa Allah mengampuni setiap dosa bagi siapa saja yang bertaubat dan kembali pada-Nya. Walaupun dosa tersebut amat banyak, meski bagai buih di lautan (yang tak mungkin terhitung). Sedangkan ayat yang menerangkan bahwa Allah tidaklah mengampuni dosa syirik, itu maksudnya adalah bagi yang tidak mau bertaubat dan dibawa mati. Artinya jika orang yang berbuat syirik bertaubat, maka ia pun diampuni. (Ibnu Katsir, 1420H: 455)
Dalam ayat lain disebutkan,
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 110)

Kepada orang Nasrani yang menyatakan ideologi trinitas, Allah dengan cinta-Nya masih menyeru untuk bertaubat. Allah SWT berfirman,
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al Maidah: 73)

Kemudian setelah itu, Allah SWT berfirman,
أَفَلا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya ?. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah: 74)

Walau mereka -Nasrani- berkata keji dengan mengatakan bahwa Allah adalah bagian dari yang tiga, namun Allah masih memiliki belas kasih dengan menyeru mereka untuk bertaubat jika mereka mau. Ayat semisal di atas teramat banyak yang juga menerangkan tentang hal yang sama bahwa setiap dosa bisa diampuni bagi yang mau bertaubat. Lihatlah sampai dosa kekafiran pun bisa Allah ampuni jika kita benar-benar bertaubat, apalagi dosa di bawah itu. Sehingga tidak boleh seorang hamba berputus asa dari rahmat Allah walau begitu banyak dosanya.
Oleh karena itu, marilah kita sebagai seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tidak dengan mudah mengatakan seorang itu buruk atau bahkan mencap kafir. Cukup doakan semoga di akhir hayatnya ia sudah dalam keadaan bertaubat, sehingga bisa bersama-sama kita di surga. Baik dan buruknya seseorang, iman atau tidaknya seseorang hakikatnya hanya Allah saja yang Maha Tahu. Bahkan kepada orang non muslim sebaiknya kita menunjukkan rasa kasih sayang kepada mereka serta didoakan semoga suatu saat bisa mendapatkan hidayah. Kita bukan Tuhan yang memiliki hak menghakimi apa yang ada di dalam hati orang lain.




Referensi:
Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Ahmad Syalabi, Sejarah Peradaban Islam, terj. Mukhtar Yahya, Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsiran Al-Qur’an, 1978.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI-Press, 2010.
Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Damaskus: Dar Thibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1420H.

Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
;