STATUS PENDOSA BESAR SEORANG MUKMIN
(Berdasarkan Pemahaman
Ideologi Murji’ah)
Oleh: Priliansyah
Ma’ruf Nur
Nama Murji’ah berasal dari kata irja atau arja’a yang
berarti penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a juga
memiliki arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar
untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Kaum Murji’ah ditimbulkan oleh
persoalan politik sama halnya dengan kaum Khawarij, tegasnya persoalan kholifah yang
membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah terbunuhnya Usman Ibn Affan. Oleh
karena itu, murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang
yang saling bermusuhan yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing yang
dikafirkan oleh kaum Khawarij hingga statusnya diputuskan di pengadilan akhirat. (Abdul, 2001: 56)
Dalam permusuhan
inilah muncul satu aliran baru yang bersikap netral yang tidak ikut dalam
kafir-mengkafirkan yang terjadi pada golongan tersebut. Bagi merekan golongan
yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak
keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan
pendapat siapa yang salah dan benar dan lebih baik menunda penyelesaian hingga
hari perhitungan di depan Allah. Dengan demikian, kaum Murji’ah adalh kaum yang
tidak ikut campur dalam pertentangan tersebut dan mengambil sikap menyerahkan
penentuan kafir atau tidaknya orang-orang yang bertentangan tersebut kepada
Allah. (Nasution, 2010: 24)
Salah satu ciri
aliran ini adalah menunda menghukumi seseorang yang berbuat dosa besar. Tidak
seperti aliran Mu’tazilah atau Khawarij yang dengan mudahnya menghukumi seorang
yang berbuat zina atau membunuh sebagai orang kafir. Aliran murji’ah
berpendapat seorang muslim yang berdosa besar tetap sebagai muslim, sebab dia
telah membenarkan dengan hatinya. Berdasarkan itu pula mereka berpendapat bahwa
perbuatan maksiat itu tidaklah merusak iman. Apabila seseorang meninggal dalam
kepercayaan tauhid, maka dosa dan kejahatannya tidak memberikan mudarat
terhadapnya.
Seorang yang
berdosa besar itu tidak dikatakan kafir, ia dikatakan fasiq, tetapi bukan fasiq
mutlak, ia hanya fasiq dalam perbuatannya. Dari pemahaman golongan murji’ah ini
dapat diambil pelajaran bahwa setiap orang yang sudah membenarkan dalam hati
bahwa dia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya masih bisa optimis mendapatkan
ampunan. Meskipun seorang itu secara lahiriah sehari-hari berlaku kurang baik,
bahkan berdosa besar, masih mungkin diampuni oleh Allah asalkan mau bertaubat
sebelum kematian menjemput. Setiap dosa –baik dosa kecil, dosa besar, dosa
syirik bahkan dosa kekufuran- bisa diampuni selama seseorang bertaubat sebelum
datangnya kematian walaupun dosa itu sepenuh bumi. (Sahilun, 2010: 155) Meskipun
terdapat pertentangan mengenai penundaan kekafiran seseorang ini, namun yang
perlu kita cermati adalah bahwa pemahaman Murji’ah terhadap status mukmin yang
melakukan dosa besar dapat membawa ummat Islam menjadi masyarakat yang ramah
dan tidak mudah mengkafirkan orang lain. Iman itu adalah pengakuan di dalam
hati, masalah perbuatan lahiriah seseorang tidak bisa serta-merta dihukumi
seorang yang buruk atau bahkan syirik. Bisa jadi seorang yang beriman itu
diamati orang lain saat sedang khilaf atau terlupa akan sesuatu, namun di lain
waktu perbuatannya mencerminkan keshalehannya. (Syalabi, 2003: 297) Salah
seorang penyair berkata:
وَ لاَ أَرَى أَنَّ ذَنْباً بَالِغُ أَحَدًا
مِنَ النَّسِ شِرْكًا إِذَا مَا وَحَّدُو الصَّمَدَا
“Aku
tidak berpendapat bahwa sesuatu dosa dapat mengantarkan kepada syirik, selama
ia tetap bertauhid kepada Tuhan.”
Mengenai
perbuatan dosa, Allah SWT berfirman:
قُلْ
يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ
رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas
terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Az Zumar: 53)
Ayat di atas bermaksud memberikan kesempatan
bagi orang-orang yang “terlanjur” terjerumus dalam maksiat, baik dalam dosa
kekafiran dan dosa lainnya untuk bertaubat dan kembali pada Allah. Ayat
tersebut memberikan kabar gembira bahwa Allah mengampuni setiap dosa bagi siapa
saja yang bertaubat dan kembali pada-Nya. Walaupun dosa tersebut amat banyak,
meski bagai buih di lautan (yang tak mungkin terhitung). Sedangkan ayat yang
menerangkan bahwa Allah tidaklah mengampuni dosa syirik, itu maksudnya adalah
bagi yang tidak mau bertaubat dan dibawa mati. Artinya jika orang yang berbuat
syirik bertaubat, maka ia pun diampuni. (Ibnu Katsir, 1420H: 455)
Dalam ayat lain disebutkan,
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ
نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan
barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia
mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. An Nisa’: 110)
Kepada orang Nasrani yang menyatakan
ideologi trinitas, Allah dengan cinta-Nya masih menyeru untuk bertaubat. Allah SWT
berfirman,
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا
إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ
لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya
kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang
tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika
mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang
kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al Maidah:
73)
Kemudian setelah itu, Allah SWT berfirman,
أَفَلا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ
وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Maka
mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya ?. Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah: 74)
Walau mereka -Nasrani- berkata keji dengan
mengatakan bahwa Allah adalah bagian dari yang tiga, namun Allah masih memiliki
belas kasih dengan menyeru mereka untuk bertaubat jika mereka mau. Ayat semisal
di atas teramat banyak yang juga menerangkan tentang hal yang sama bahwa setiap
dosa bisa diampuni bagi yang mau bertaubat. Lihatlah sampai dosa kekafiran pun
bisa Allah ampuni jika kita benar-benar bertaubat, apalagi dosa di bawah itu.
Sehingga tidak boleh seorang hamba berputus asa dari rahmat Allah walau begitu
banyak dosanya.
Oleh karena itu, marilah kita sebagai
seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tidak dengan mudah mengatakan
seorang itu buruk atau bahkan mencap kafir. Cukup doakan semoga di akhir
hayatnya ia sudah dalam keadaan bertaubat, sehingga bisa bersama-sama kita di surga. Baik dan buruknya seseorang, iman atau
tidaknya seseorang hakikatnya hanya Allah saja yang Maha Tahu. Bahkan kepada
orang non muslim sebaiknya kita menunjukkan rasa kasih sayang kepada mereka
serta didoakan semoga suatu saat bisa mendapatkan hidayah. Kita bukan Tuhan
yang memiliki hak menghakimi apa yang ada di dalam hati orang lain.
Referensi:
Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung:
Pustaka Setia, 2001.
Ahmad Syalabi, Sejarah Peradaban Islam, terj. Mukhtar Yahya,
Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahan,
Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsiran Al-Qur’an, 1978.
Harun Nasution, Teologi Islam:
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI-Press, 2010.
Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Damaskus: Dar Thibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1420H.
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2010.
0 komentar:
Posting Komentar