Allah SWT berfirman :
قُلْ هَلْ
يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَاَلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ (الزمر: 9)
Artinya: “Katakanlah (Wahai Muhammad!): ‘Adakah sama orang-orang yang
berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?’”. (QS. Az-Zumar: 9)
Dalam ayat lain Allah
berfirman:
يَرْفَعِ
اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (المجادلة: 11)
Artinya: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadilah: 11)[1]
Dengan ayat-ayat ini
Allah SWT tidak mau menyamakan orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu,
disebabkan oleh manfaat dan keutamaan ilmu itu sendiri dan manfaat dan ketinggian
derajat yang akan didapat oleh orang yang berilmu[2].
Berdasarkan ayat-ayat
tersebut penulis ingin meneliti beberapa hadits yang menerangkan ayat-ayat
tersebut sebagaimana fungsi hadits sebagai bayan Al Qur’an[3].
Pada bagian selanjutnya penulis akan menjabarkan tentang keutamaan ilmu dan
keutamaan orang yang berilmu, yakni ulama.
PEMBAHASAN
1.
Hadits
tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama
(3159)- [3641] حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ
مُسَرْهَدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ، سَمِعْتُ عَاصِمَ بْنَ
رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ يُحَدِّثُ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ
قَيْسٍ، قَالَ: " كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ
دِمَشْقَ، فَجَاءَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ، إِنِّي جِئْتُكَ
مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صلى الله عليه و سلم لِحَدِيثٍ
بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله
عليه و سلم مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ، قَالَ: فَإِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم يَقُولُ:
" مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا
مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا
لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي
السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ، وَإِنَّ
فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى
سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ
الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ
فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ "، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْوَزِيرِ الدِّمَشْقِيُّ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، قَالَ: لَقِيتُ شَبِيبَ بْنَ
شَيْبَةَ فَحَدَّثَنِي بِهِ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي سَوْدَةَ، عَنْ أَبِي
الدَّرْدَاءِ يَعْنِي، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم بِمَعْنَاهُ
"Barangsiapa
menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan tunjukkan
baginya salah satu jalan dari jalan-jalan menuju ke surga. Sesungguhnya
malaikat meletakan sayap-sayap mereka sebagai bentuk keridhaan terhadap
penuntut ilmu. Sesungguhnya semua yang ada di langit dan di bumi meminta ampun
untuk seorang yang berilmu sampai ikan yang ada di air. Sesungguhnya keutamaan
orang yang berilmu dibandingkan dengan ahli ibadah sebagaimana keutamaan bulan
purnama terhadap semua bintang. Dan sesungguhnya para ulama’ adalah pewaris
para Nabi, dan sesungguhnya mereka tidaklah mewariskan dinar maupun dirham,
akan tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil bagian ilmu maka
sungguh dia telah mengambil bagian yang berharga." (HR. Ibnu Majah)
Hadits
ini jika dilihat dari jalur Katsir bin Qais sanadnya dha’if yakni dha’if pada
Dawud bin Jamil dan Katsir bin Qais. Tetapi jika dilihat dari jalur ‘Utsman bin
Abi Saudah sanadnya hasan (Shaduq hasanul hadits pada Syu’aib bin Syaibah).
2.
Keutamaan
Menuntut Ilmu
Ilmu
secara bahasa berarti pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala
tertentu di bidang (pengetahuan) itu[4]. Ummat Islam diwajibkan menuntut ilmu yang diterangkan dalam
hadits sebagaimana berikut:
(220)- [224] حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ
عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ، حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ
شِنْظِيرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم: " طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ
عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ
الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ، وَاللُّؤْلُؤَ، وَالذَّهَبَ "
“Hisyam ibn `Amar meriwayatkan hadis kepada kami:
Hafsh ibn Sulaiman meriwayatkan hadis kepada kami: Katsir ibn Syindhir meriwayatkan
hadis kepada kami: Dari Muhammad ibn Sirin, Dari Anas ibn Malik yang berkata:
Rasulullah saw bersabda: Mencari ilmu itu Fardlu atas setiap Muslim, dan orang
yang meletakkan ilmu kepada selain ahlinya, maka seperti mengalungi babi dengan
permata, mutiara dan emas”. (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini tergolong
masyhur, selain riwayat di atas, hadis ini diriwayatkan oleh Ibn `Adiy dan
al-Baihaqiy, dari sahabat Anas ibn Malik RA. Diriwayatkan pula oleh
al-Thabraniy dalam Kitab al-Mu`jam al-Awsath dan al-Khathib al-Baghdadiy, dari
Husain ibn Ali RA. Al-Tabraniy dalam Kitab al-Mu`jam al-Awsath meriwayatkan
pula dari Ibnu Abbas RA. Imam Tamam meriwayatkan hadis ini dari Ibnu Umar RA.
Al-Thabraniy dalam Kiatb al-Mu`jam al-Kabir meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud RA. Al-Khathib
meriwayatkan dari Ali ibn Abu Thalib RA. Al-Thabraniy dalam Kitab al-Mu`jam
al-Awsath dari Ibnu Abbas RA. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Sa`id al-Khudzri
RA. Dalam riwayat ibnu Majah dari Anas RA. Dan Ibnu `Abdul Bar dalam Bab Ilmu.
Hadits
ini dari segi sanadnya dha’if, yakni ada kecacatan pada Hafsh bin Sulaiman.
Tetapi dikuatkan oleh kemasyhuran riwayat hadits ini, dan dari segi matannya
tidak bertentangan dengan Al Qur’an maka hadits ini hasan li ghairih.
Kemudian
yang menjadi pertanyaan kita adalah ilmu apa yang utama kita pelajari? Dalam hadits riwayat Al Bukhari diterangkan:
(4665)- [5028] حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ،
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ، عَنْ أَبِي عَبْدِ
الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ
صلى الله عليه و سلم : " إِنَّ أَفْضَلَكُمْ مَنْ
تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ "
“Sesungguhnya orang yang paling utama diantara
kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkan nya.” )HR. Bukhari)
Ilmu pengetahuan adalah
sebaik-baik sesuatu yang disukai, sepenting-penting sesuatu yang dicari dan
merupakan sesuatu yang paling bermanfaat, dari pada selainnya. Kemuliaan akan
didapat bagi pemiliknya dan keutamaan akan diperoleh oleh orang yang memburunya.
Imam As-Syafi’i mengatakan:
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ ,
وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
Artinya: “Barang siapa menghendaki (kebaikan) dunia, maka hendaknya
ia menggunakan ilmu, dan barang siapa menghendaki kebaikan akhirat, maka
hendaknya menggunakan ilmu”[5].
Menurut Al-Mawardi,
keutamaan dan pentingnya ilmu dapat diketahui oleh semua orang. Yang tidak
dapat mengetahuinya hanya orang-orang bodoh. Perkataan ini adalah petunjuk bagi
keutamaan ilmu yang lebih mengena, karena keutamaan ilmu hanya dapat diketahui
oleh ilmu itu sendiri. Ketika seseorang tidak berilmu untuk mengetahui
keutamaan ilmu, maka ia meremehkan ilmu, menganggap hina para pemilinya, dan
menyangka bahwa hanyalah kekayaan dunia yang akan mengantarkannya kepada sebuah
kebahagiaan.
Al-Mawardi juga
mengatakan bahwa, ilmu amatlah luas, jika di pelajari tidak akan pernah
selesai, selama bumi masih berputar, selama hayat di kandung badan selama itu
pula manusia memerlukan ilmu pengetahuan islam tidak hanya cukup pada perintah
menuntut ilmu, tetapi menghendaki agar seseorang itu terus menerus melakukan
belajar, karena manusia hidup di dunia ini perlu senantiasa menyesuaikan dengan
alam dan perkembangan zaman. Jika manusia berhenti belajar sementara zaman
terus berkembang maka manusia akan tertinggal oleh zaman sehingga tidak dapat
hidup layak sesuai dengan tuntutan zaman, terutama pada zaman sekarang ini,
zaman yang di sebut dengan era globalisasi, orang di tuntut untuk memiliki
bekal yang cukup banyak, berupa ilmu pengetahuan[6].
(70)- [71] حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ
عُفَيْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ يُونُسَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ،
قَالَ: قَالَ حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ خَطِيبًا،
يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُولُ:
" مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَإِنَّمَا [
ج 1 : ص
22 ] أَنَا قَاسِمٌ وَاللَّهُ يُعْطِي، وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الْأُمَّةُ
قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللَّهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ
أَمْرُ اللَّهِ "
Telah menceritakan kepada kami Sa'id
bin 'Ufair Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab dari Yunus dari Ibnu
Syihab berkata, Humaid bin Abdurrahman berkata; aku mendengar Mu'awiyyah
memberi khutbah untuk kami, dia berkata; Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik
maka Allah faqihkan dia terhadap agama. Aku hanyalah yang membagi-bagikan
sedang Allah yang memberi. Dan senantiasa ummat ini akan tegak diatas perintah
Allah, mereka tidak akan celaka karena adanya orang-orang yang menyelisihi
mereka hingga datang keputusan Allah". (HR. Bukhari)
Hadits ini adalah
hadits yang urgen, dimana seolah-olah Allah menggantungkan kebaikan seseorang
terhadap kepahamannya terhadap agama, dalam arti kwalitas dan kwantitas ilmunya
dalam masalah agama. Dari sini dapat diketahui bahwa ilmu adalah penting,
karena ia menjadi penentu baik dan buruk seseorang. Dengan ilmu ia akan
membedakan salah dan benar, baik dan buruk dan halal dan haram. Dalam hadits lain
Rasulullah SAW bersabda:
إنَّ مَثَلَ
مَا بَعَثَنِي اللهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى , وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ
أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ , فَأَنْبَتَتْ
الْكَلَاَ , وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ , وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ
الْمَاءَ , فَنَفَعَ اللهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا , وَسَقَوْا ,
وَزَرَعُوا , وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا
تُمْسِكُ الْمَاءَ , وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً , فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي
دِينِ اللهِ , وَنَفَعَهُ بِمَا بَعَثَنِي اللهُ بِهِ , فَعَلِمَ , وَعَلَّمَ ,
وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا , وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ
الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Perumpamaan apa yang dituliskan oleh Allah kepadaku yakni petunjuk
dan ilmu adalah seperti hujan lebat yang mengenai tanah. Dari tanah itu ada
yang gembur yang dapat menerima air lalu tumbuhlah padang rumput yang banyak.
Dari panya ada yang keras dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan rumput.
Demikian itu perumpamaan orang yang tidak menolak kepadanya, dan mengajar, dan
perumpamaan orang yang pandai agama Allah dan apa yang dituliskan kepadaku
bermanfaat baginya, ia pandai dan mengajar, dan perumpamaan orang yang tidak
menolak kepadanya, dan ia tidak mau menerima petunjuk Allah, yang mana saya di
utus dengannya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
3.
Keutamaan
Ulama
Ulama adalah pewaris nabi, yang mewarisi ilmu.
Namun, apabila salah seorang ulama keliru dalam satu atau dua masalah, atau ia
berijtihad dan salah maka Ahlus Sunnah tidak mengikuti kesalahan mereka namun
juga tidak mencela mereka, karena Ahlus Sunnah menyadari bahwa ia seorang
mujtahid, dan para ulama adalah pewaris para nabi. Maka termasuk manhaj Ahlus
Sunnah adalah selamatnya lisan-lisan mereka dari menjelek-jelekkan para ulama,
karena ulama adalah pewaris para nabi dan merekalah yang menunjuki umat kepada
syari’at agama ini.[7]
Keutamaan adalah
kelebihan. Jika ada dua benda yang sama, sementara salah satunya mempunyai
kelebihan, maka benda itu bisa disebut utama, kalau memang kelebihan yang
dimaksud adalah kelebihan dalam sifat kesempurnaan.
Sesuatu yang indah dan
disenangi ada tiga macam, yaitu: sesuatu yang disenangi karena ada faktor lain
diluarnya, sesuatu yang disenangi karena nilai eksentriknya dan sesuatu yang
dicari karena nilai eksentriknya juga karena ada faktor lain diluarnya.
Uang adalah sesuatu
yang disenangi. Tetapi ia disenangi bukan karena nilai eksentriknya tetapi
karena ada faktor lain berupa dapat dibuatnya uang untuk mendapatkan yang lain.
Kebahagiaan adalah sesuatu yang disenangi karena nilai eksentriknya, artinya ia
disenangi karena kebahagian itu sendiri. Sedangkan sesuatu yang disenangi
karena ada faktor lain dari luar dan juga karena nilai eksentriknya dapat
dicontohkan seperti kesehatan badan. Kesehatan badan disamping bisa dibuat
untuk memperoleh tujuan dan kebutuhan lain, ia juga disenangi karena didalamnya
sendiri ada nikmat dan kenyamanan. Dari ketiga macam hal di atas, yang tentunya
lebih utama adalah yang ketiga.
Apabila memandang ilmu
pengetahuan, maka ia termasuk yang ketiga. Ilmu itu sendiri adalah keindahan
dan kelezatan, disamping ia dapat dijadikan perantara mendapatkan kebahagian,
baik di dunia maupun akhirat. Dengan ilmu kedekatan kepada Allah dapat diraih,
kelas lebih tinggi para malaikat dapat diperoleh dan status sosial yang tinggi
di surga dapat dinikmati. Dengan ilmu kemulian dunia, pengaruh, pengikut,
kemewahan, kekuasaan dan kehormatan dapat diperoleh. Bahkan binatang pun secara
naluri akan tunduk kepada manusia karena ilmu yang dimilikinya. Inilah kesempurnaan
ilmu secara mutlak[8]
KESIMPULAN
Ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang utama, mulia dan
penting. Oleh sebab itu semua harus menyadari tentang hal ini, untuk membentuk
keshalehan individu dan keshalehan dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Paling tidak setiap pendidik pada lembaga pendidikan manapun harus
mampu menyadari akan keutamaan dan pentingnya ilmu, lalu menyalurkannnya kepada
peserta didik, sehingga manfaat dan fungsi ilmu pengetahuan dapat dirasakan
secara menyeluruh, bukan sekadar formalitas belaka.
Firman Allah dalam al-Qur’an, hadits-hadits Rasulullah
serta pandangan ulama, sebagaimana dipaparkan di atas adalah bukti kongkrit
akan keutamaan, kemulian dan pentingnya ilmu bagi seluruh sendi kehidupan. Ia
adalah kunci bagi kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
‘Itr, Nuruddin, Ulumul Hadits, Bandung: Remaja Rosda Karya,
2016.
Al-Ghazali, Ihya’
Ulum al-Din, Beirut: Darul Ma’rifah, tt.
Al-Mawardi, Adab al-Dun-ya wal al-Din, Beirut: Dar Iqra’, 1985.
Alwi, Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
An-Nawawi, Al-Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhadzab, Kairo: Maktabah
al-Muniriyah, tt.
Bâqir al-Shadr; Durûs fî ‘ilmi al-ushûl, Majma’
al-fikr al-islâmî; Qum, 1419 H.
Muhammad, Badruddin, Tadzkiratu As-Sami’ Al Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Mutakallim, Beirut: Darul Basyair Al Islamiyah, 1429H.
[1] Ibnu ‘Abbas ketika
menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa derajat para ahli ilmu dan orang mukmin
yang lain sejauh 700 derajat. Satu derajat sejauh perjalanan 500 tahun (lihat: Al-Ghazali,
Ihya’ Ulum al-Din, (Beirut: Darul Ma’rifah, tt), Juz 1 hlm. 5
[3] Nuruddin ‘Itr,
Ulumul Hadits, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2016), hlm. 493
[4] Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 129
[7] Bâqir al-Shadr; Durûs fî
‘ilmi al-ushûl, (Majma’ al-fikr al-islâmî; Qum, 1419 H),
hlm. 487
0 komentar:
Posting Komentar